konseling individu
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Secara umum konseling merupakan suatu proses pemberian bantuan secara
langsuang antara konselor dan klien melalui wawancara konseling. Proses ini
hanya boleh dilakukan oleh konselor profesional. Konseling sebagai usaha bantuan
profesional yang disejajarkan dengan profesi lain, seprti psikiater, psikolog,
dan sebagainya. Dalam pelaksanaannya, akan ada interaksi secara tatap muka
antara konselor dengan klien. Dengan demikian seorang konselor perlu memiliki
ketermpilan-keterampilan yang didasarkan pada pengetahuan khusus. Keterampilan
itu menjadi salah satu kompetensi konselor.
Ketika melakukan wawancara konseling, teknik dasar komunikasi konseling
menjadi pondasi yang sangat penting. Beberapa teknik tersebut antara lain
teknik Attending, Opening, Acceptance, Paraprashing, Restatement, Reflesing of
Feeling, Clarification, Structuring. Akan tetapi, dalam makalah ini tidak akan
membahas seluruh aspek teknik dasar konseling tersebut. Makalah ini hanya
memfokuskan pada teknik Attending, Opening dan Acceptance. Ketika tenik
tersebut akan bermanfaat dalam permulaan proses konseling.
B. Rumusan masalah
1.
Apasajakah keterampilan
dasar yang hars dimiliki oleh seorang konselor?
2.
Jelaskan keterampilan yang
harus dimiliki oleh konselor tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tahap Awal Konseling
1. Keterampilan attending (menghampiri)
Keterampilan attending
adalah perilaku konselor menghampiri klien yang diwujudkan dalam bentuk kontak
mata dengan klien, bahasa tubuh, dan bahasa lisan. Keterampilan attending juga
mencerminkan bagaimana konselor menghampiri klien yang diwujudkan dalam
perilaku di atas. Proses konseling menuntut keterampilan atau partisipasi dari
klien. Oleh karena itu, kemampuan attending konselor, akan memudahkannyauntuk
membuat klien terlibat pembicaraan dan terbuka. Attending yang baik akan dapat
meningkatkan harga diri klien, menciptakan suasana yang aman, dan mempermudah
ekspresi perasaan klien secara bebas.
Ciri-ciri attending yang baik adalah :
a. Menganggukkan kepala apabila menyetujui pernyataan klien
b. Ekpresi wajah tenang, ceria, dan senyum
c. Posisi tubuh agak condong kearah klien, jarak antara konselor
dengan klien dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan
d. Variasi isyarat gerakan tangan berubah-ubah untuk menekankan
suatu pembicaraan
e. Mendengarkan secara aktif, penuh perhatian, menunggu ucapan
klien hingga selesai, diam atau menunggu kesempatan bereaksi, dan perhatian
terarah pada lawan bicara.
Ciri-ciri perilaku attending yang tidak baik adalah :
a. Kepala kaku
b. Ekspresi muka melamun, tegang, mengalihkan pandangan
c. Posisi tubuh tegak kaku, bersandar di kursi, miring
d. Memutuskan pembicaraan, berbicara terus tanpa teknik diam
e. Perhatian terpecah, mudah buyar oleh gangguan luar[1]
Carkhuff (1983)
menyatakan bahwa melayani klien secara pribadi merupakan upaya yang dilakukan
konselor dalam memberikan perhatian secara total kepada klien. Hal ini di
tampilkan melalui sikap tubuh dan ekspresi wajah. Secara lebih terperinci,
berikut ini dikemukakan sikap melayani ( attending ) yang baik, yaitu :
-
Kepala : melakukan
anggukan jika setuju
-
Ekspresi wajah : tenang,
ceria, senyum.
-
Posisi tubuh : agak
condong arah klien, jarak konselor dengan klien agak dekat, duduk akrab atau berdampingan
-
Tangan : variasi gerakan
tangan/lengan spontan berubah-ubah, menggunakan tangan sebagai isyarat,
menggunakan gerakan tangan ubtuk menekankan ucapan
-
Mendengar aktif : aktif
penuh perhatian, menunggu ucapan klien hingga selesai, diam ( menanti saat
kesempatan bereaksi ), perhatian terarah pada lawan bicara.
Mwnurut Willis (2009)
attending yang baik ini sangat dibutuhkan karena dapat :
-
Meningkatkan harga diri
klien
-
Menciptakan suasana yang
aman
-
Mempermudah ekspresi
perasaan klien dengan bebas.
2. Rapport
Rapport adalah suatu hubungan (relationship) yang ditandai
dengan keharmonisan, kesesuaian, kecocokan dan saling tarik menarik. Rapport dimulai
dengan persetujuan, kesejajaran, kesukaan dan persamaan. Jika sudah terjadi
persetujuan dan persamaan, timbul kesukaan terhadap satu sama lain.
Didalam
kehidupan sehari-hari ada dua cara kita melihat orang lain:
Pertama, melihat perbedaan. Cara melihat ini diwarnai
dengan perasaan egosentrisme, yakni melihat orang lain dari kelemahannya,
kesalahannya, atau keburukannya. Dan menganggap diri sendiri adalah yang paling
hebat, pandai, terhormat, mulia dan sebagainya. Akibatnya orang ini hanya
melihat perbedaan, sehingga menjurus kepada individualistik.
Didalam
konseling, seorang konselor harus mampu menciptakan rapport. Bagaimana caranya?
a. Pribadi konselor harus empati, merasakan apa yang dirasakan kliennya. Dia
juga harus terbuka, menerima tanpa syarat, dan mempunyai rasa hormat dan
menghargai.
b. Konselor harus mampu membaca perilaku nonverbal klien. Terutama yang
berhubungan dengan bahasa lisannya.
c. Adanya rasa kebersamaan, intim, akrab, dan minat membantu tanpa pamrih.
Artinya ada keikhlasan, kerelaan dan kejujuran pada diri konselor.
Teknik
rapport dalam konseling merupakan suatu kondisi saling memahami dan mengenal
tujuan bersama. Tujuan utama teknik ini adalah untuk menjembatani hubungan
antara konselor dengan klien, sikap penerimaan dan minat yang mendalam terhadap
klien dan masalahnya. Melalui teknik ini
maka akan tercipta hubungan yang akrab antara konselor dan klien yang ditandai
dengan saling mempercayai.
Implementasi teknik rapport dalam
konseling yaitu:
-
pemberian salam yang menyenangkan
-
menetapkan topic pembicaraan yang sesuai
-
susunan ruang konseling yang
menyenangkan
-
sikap yang ditandai dengan kehangatan
emosi
-
realisasi tujuan bersama
-
menjamin kerahasiaan klien
-
kesadaran terhadap hakikat klien secara
alamiah.
3. Keterampilan mendengarkan
Keterampilan
mendengarkan adalah kemampuan pembimbing atau konselor menyimak atau memperhatikanpenuturan klien
selama proses konseling berlangsung. Pembimbing atau konselor harus bisa
menjadi pendengar yang baik selama sesi konseling berlangsung. Tanpa
keterampilan ini, pembimbing atau konselor tidak akan dapat menangkap pesan
pembicaraan. Selama sesi konseling berlangsung, pembimbing atau konselor harus
mendengarkan secara sungguh-sungguh apa yang dituturkan oleh klien. Dari sini
akan menentukan ketepatan pengambilan kesimpulan sementara kesimpulan akhir
wawancara konseling. Pengambilan kesimpulan sementara atau akhir bisa salah
apabila konselor tidak mendengarkan secara sungguh-sungguh penuturan klien.
Optimalisasi keterampilan ini sangat di dukung oleh fungsi pendengaran telinga.
Oleh sebab itu seorang konselor tidak boleh memiliki gangguan pendengaran.[2]
4. Keterampilan berempati
Empati adalah kemampuan
konselor untuk merasakan apa yang dirasakan klien merasa dan berfikir bersama
klien dan bukan untuk untuk atau tentang klien. Empati diawali dengan simpati
yaitu kemampuan konselor memahami perasaan fikiran, keinginnan dan pengalaman
klien.
Empati ada dua macam yaitu:
-
Pertama empati primer,
yaitu kemempuan konselor memahami perasaan, fikiran, keinginan dan pengalaman
klien.
-
Kedua empati tingkat
tinggi, yaitu kemampuan konselor memahami perasaan, fikiran, keinginan serta
pengalaman klien secara lebih mendalam dan menyentuh klien konselor ikut dengan
perasaan tersebut.
Ketika konselor
berkata saya memahami perasaan, fikiran dan keinginan anda berarti konselor
bersimpati tetapi ketika konselor berkata saya dapat merasakan apa yang anda
rasakan, berarti konselor sedang berempati. Empati sangat penting dalam proses
konseling, tanpa empati proses konseling
tidak akan berjalan secara efektif. Konselor yang tidak mampu berempati tidak
akan bisa menjadi pemecah masalah yang efektif dalam arti akan mengalami
kesulitan membantu mencarikan altenatif pemecahan masalah individu (klien).
Melalui keterampilan ini, dalam proses konseling diharapkan klien akan terlibat
pembicaraan dan terbuka, selain itu dengan berempati klien akan tersentuh dan
bersedia serta terbuka untuk mengemukakan isi yang tersimpan dalam lubuk hati
yang dalam berupa perasaan, fikiran ,pengalaman, bahkan penderitaan.[3]
Contoh prilaku empati primer :
-
“saya dapat merasakan
bagaimana perasaan saudara”
-
“Saya dapat memahami
pikiran anda”
-
“Saya mengerti keinginan
saudara”
Contoh perilaku empati tingkat tinggi :
-
“saya merasakan apa yang
saudara rasakan, dan saya ikut terluka dengan pengalaman anda itu”[4]
5. Keterampilan refleksi
Refleksi adalah
keterampilan pembimbing atau konselor untuk memantulkan kembali kepada klien
tentang perasaan, fikiran, dan pengalaman klien sebagai hasil pengamatan
terhadap perilaku verbal dan nonverbalnya.
Refleksi ada tiga macam yaitu :
a. Refleksi perasaan yaitu keterampilan konselor untuk dapat
memantulkan ( merefleksikan ) perasaan klien sebagai hasil pengamatan verbal
dan nonverbal terhadapat klien
b. Refleksi fikiran, yaitu keterampilan pembimbing atau konselor
untuk memantulkan ide, pikiran, dan pendapat klien sbagai hasilpengamatan
terhadapat perilaku verbal dan nonverbal terhadap klien.
c. Refleksi pengalaman, yaitu keterampilan pembimbing atau konselor
merefleksikan pengalaman-pengalaman klien sebagai hasil pengamatan terhadapap
perilaku verbal dan nonverbal klien.[5]
Contoh perilaku refleksi perasaan yaitu :
-
“nampaknya yang anda
katakan adalah.....”
-
“barangkali anda
merasa.....”
-
Adakah yang anda maksud
kan.....”
Contoh perilaku refleksi penglaman :
-
“barangkali yang akan anda
utarakan adalah....”
-
“adakah yang anda
maksudkan suatu peristiwa....”
Contoh refleksi pikiran :
-
“nampaknya yang anda
katakan adalah....”
-
“barangkali akan anda
utarakan[6]
6. Keterampilan eksplorasi
Istilah eksplorasi
bisa berarti penelusuran atau penggalian. Keterampilan eksplorasi adalah suatu
keterampilan konselor untuk menggali perasaan, fikiran, dan pengalaman klien.
Keterampilan ini penting karena dalam konseling terkadang klien menyimpan
rahasia, menutup diri, dan diam seribu bahasa atau tidak mampu mengemukakan
pendapatnya secara terus terang. Melalui kerrampilan ini, akan memeungkinkan
klien untuk bebas berbicara tanpa rasa takut, tertekan, dan terancam.
Eksplorasi ada tiga macam :
a. Eksplorasi perasaan, yaitu keterampilan konselor untuk menggali
perasaan klien yang tersimpa.
b. Eksplorasi fikiran, yaitu keterampilan atau kemampuan konselor
utuk menggali ide, fikiran, dan pendapat klien
c. Eksplorasi pengalaman, yaitu keterampilan konselor untuk
menggali pengalaman-pengalaman klien sebagi hasilpengamatan terhadap perilaku
verbal dan nonverbal klien.[7]
Contoh eksplorasi perasaan yaitu :
-
“bisakah saudara menjelaskan
apa perasaan bingung yang dimaksud kan”
Contoh eksplorasi pengalaman yaitu :
-
“saya terkesan dengan
pengalaman yang anda lalui. Namun saya ingin memahami lebih jauh tentang
pengalaman tersebut dan pengaruhnya terhadap diri anda
Contoh eksplorasi pikiran yaitu :
-
“saya yakin anda dapat
menjelaskan lebih jauh ide anda tentang sekolah sambil bekerja[8]
7. Keterampilan bertanya
Keterampilan bertanya
adalah suatu kemampuan pembimbing atau konselor mengajukan
pertanyaan-pertanyaan pada sesi konseling. Keterampian ini penting dimiliki
oleh setiap konselor. Tanpa keterampilan ini, pertanyaan-pertanyaan yang di
ajukan konselor mungkin tidak dipahami klien sehingga ia tidak bisa menjawab (
diam ). Tanpa keterampilan ini konselor juga akan mengalami kesulitan membuka
sesi konseling.
Keterampilan bertanya ada dua macam yaitu :
a. Keterampilan bertanya terbuka
Pada keterampilan bertanya terbuka, pertanyaan-pertanyaan yang
di ajukan bersifat terbuka dan klien bebas menjawabnya.
b. Keterampilan bertanya tertutup.
Pada keterampilan bertanya tertutup, pertanyaan yang di ajukan
konselor kepada klien mengandung jawaban yang singkat dari kien seperti ya atau
tidak, setuju atau tidak setuju dan lain sebagainya.[9]
Contoh keterampilan bertanya terbuka :
-
“bagaimana peasaan anda
saat ini ?”
Contoh keterampilan bertanya tertutup :
-
“apakah anda sudah yakin
untuk putus dari dia ?”
8. Keterampilan menangkap pesan utama ( parapharasing )
Dalam sesi konseling
sering klien mengemukakan perasaan, fikiran dan pengalamannya secara
berbelit-belit. Oleh sebab itu, diperlukan kemampuan konselor menangkap pesan
utama ( ide utama ) dari penuturan-penuran klien klien selanjutnya dinyatakan
secara sederhana dan di sampaikan dengan bahasa sendiri oleh konselor sehingga
mudah dipahami.
Keterampilan ini bertujuan untuk mengatakan kembali esensi atau
inti ungkapan klien. Selain itu juga bertujuan untuk :
a. Mengatakan kembali kepada klien bahwa konselor bersama dia dan
berusaha memahami apa yang dikatakan klien.
b. Mengendapka apa yang di ungkapkan klien dalam bentuk ringkasan.
c. Memberi arah wawancara konseling.
d. Mengecek kembali persepsi konselor tentang apa yang di kemukakan
oleh klien.
Paraphrasing yang baik
adalah menyatakan kembali pesan utama klien secara seksama dengan kalimat yang
mudah dan sederhana.[10]
Contoh parapharasing yaitu :
Klien :
“itu suatu pekerjaan yang baik. Akan tetapi saya tidak mengambilnya. Saya tidak
tahu mengapa ?”
Konselor : “nampaknya
saudara masih ragu”[11]
9. Keterampilan memberikan dorongan minimal
Keterampilan
memberikan dorongan minimal adalah kemampuan konselor memberikan dorongan
langsung dan singkat terhadapat apa yang telah dikatan oleh klien. Melalui
keterampilan ini klien akan selalu terlibat dalam pembicaraan dan terbuka.
Tujuan keterampilan ini adalah menjadikan klien terbuka dan bersedia untuk
berbicara serta dalam mengarahkan agar pembicaraan ( wawancara konseling
mencapai tujuan ).
Penerapan keterampilan
ini dalam sesi konseling harus dilakukan secara selektif yaitu ketika klien
menunjukkan tanda-tanda akan mengurangi atau menghentikan pembicaraan. Atau
ketika klien kurang memusatkan fikiran pada pembicaraan dan ketika konselor
merasa ragu terhadapat pembicaraan klien. Melalui keterampilan ini juga akan
dapat meningkatkan eksplorasi diri.[12]
Contoh kata-kata untuk memberikan dorongan minimal yaitu :
“Oh....,Ya....,Terus....,Lalu....,Dan....”[13]
B. Tahap pertengahan
1. Keterampilan menyimpulkan sementara
Ketarampilan
menyimpulkan sementara adalah suatu kemampuan konselor bersama klien untuk
menyampaikan kemajuan hasil pembicaraan, mempertajam atau memperjelas fokus
wawancara konseling. Tujuan keterampilan ini adalah untuk melihat kemajuan
wawancara konseling pada setiap tahapannya. Selain itu juga bertujuan untuk :
-
Memberikan kesempatan
kepada klien untuk melakukan feedback dari hal-hal yang telah dibicarakan
-
Menyimpulkan hasil
pembicaraan cara bertahap untuk meningkatkan kualitas diskusi
-
Mempertajam atau
memperjelas fokus pada wawancara konseling[14]
Contoh menyimpulkan sementara yaitu:
Konselor : “setelah kita berdiskusi beberapa waktu alangkah
baiknya jika kita simpulkan dulu agar jelas hasil pembicaraan kita sampai saat
ini. Dari materi pembicaraan yang kita diskusikan kita sudah sampai kepada dua
hal : pertama, tekat anda untuk bekerja sambil kuliah makin jelas., kedua, namun
hambatan yang akan anda hadapi seperti yang anda kemukakan tadi yaitu : sikap
orang tuan yang menginginkan anda segera menyelesai study,dan waktu bekerja
yang penuh sebagaimana dituntut oleh perusahaan yang akan anda masuki.”[15]
2. Keterampilan memimpin
Agar pembicaraan dalam
wawancara konseling tidak menyimpang, konselor harus memimpin arah pembicaraan
sehingga tujuan konseling dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Memimpinnarah pembicaran bukan berarti konselor lebih banyak mengatur jalan nya
wawancara konseling. Keberhasilan konselor memimpin jalan proses bimbingan dan
konseling dipengaruhi oleh tipe-tipe konselor itu sendiri, apakah demokratis
otoritas dan permisif.[16]
Contoh keterampilan memimpin yaitu :
klien : “saya mungkin berfikir juga tentang masalah hubungan
dengan pacar. Tapi bagaimana ya.....?”
konselor : “sampai saat ini kepeduliaan saudara tertuju pada
kuliah sasmbil bekerja. Mungkin anda tinggal merinci kepedulian itu. Mengenai
pacaran apakah termasuk dalam kerangka kepedulian anda juga ?”[17]
3. Keterampilan memfokuskan
Seorang konselor yang
efektif harus mampu membuat fokus melalui perhatiannya yang terseleksi terhadap
pembicaraan dengan klien. Keterampilan ini akan membantu klien memusatkan
perhatian nya pada pokok pembicaraan.[18]
Ada beberapa fokus yang dapat dilakukan seorang konselor yaitu :
a. Fokus pada diri klien
Contoh : “ tampaknya anda berjuang sendiri
b. Fokus pada orang lain
Contoh : “paijo telah membuat kamu menderita. Terangkanlah
tentang dia dan apa yang telah dilakukannya.”
c. Fokus pada topik
Contoh : “pengguguran kandungan ? kamu memikirkan aborsi ?
sebaiknya pikirkan masak-masak dengan berbagai pertimbangan.”
d. Fokus mengenai budaya
Contoh : “mungkin budaya menyerah dan mengalah terhadap
laki-laki harus diatasi sendiri oleh kaum wanita. Wanita tak oleh menjadi objek
laki-laki.[19]
4. Keterampilan melakukan konfrontasi
Konfrontasi merupakan
suatu kemampuan konselor menantang klien untuk melihat adanya diskrepansi atau
inkonsistensi antara perkataan dengan bahasa badan atau perbuatan, ide awal
dengan ide berikutnya, senyum dengan dengan kepedihan dan sebagainya.
Keterampilan ini berguna untuk :
-
Mendorong klien mengadakan
instrospeksi diri secara jujur meningkatkan potensi klien
-
Membawa yi,,\klien kepada
kesadaran adanya diskrepansi, , konflik dalam dirinya
Penerapan keterampilan ini harus secara hati-hati dilakukan oleh
konselor yaitu dengan cara :
-
Memberi komentar khusus
terhadap klien yang tidak konsisten secara tepat waktu
-
Tidak menilai apa lagi
menyalahkan
-
Dilakukan konselor
bersamaan dengan prilaku attending dan
empati[20]
Contoh :
Klien : “oh....,saya baik-baik saja ( suara rendah, wajah tidak
cerah,posisi tubuh gelisah ).”
Konselor : “anda katakan baik-baik saja tapi kelihatan nya ada
sesuatu yang tidak beres.”[21]
5. Keterampilan menjernihkan ( Clarifying )
Keterampilan
menjernihkan adalah kemampuan konselor menjernihkan atau memperjelas
ucapan-ucapan klien samar-samar, kurang jelas, dan agak meragukan. Tujuan
keterampilan ini adalah :
-
Mengajak klien untuk
menyatakan pesannya secara jelas
-
Agar klien menjelaskan,
mengulang, dan mengilustrasikan perasaannya[22]
Contoh keterampilan menjernihkan :
Klien : “perubahan yang terjadi dikeluarga saya membuat saya
bingung dan konflik. Saya tidak mengerti siapa yang menjadi pemimpin dirumah
itu.”
Konselor : “bisakah anda jelaskan persoalan pokok nya misalnya
peran ayah ibu atau saudara-saudara anda.”[23]
6. Keterampilan memudahkan
Facilitating adalah suatu keterampilan membuka komunikasi agar klien dengan
mudah berbicara dengan konselor dan menyatakan perasaan, pikiran, dan
pengalamanya secara bebas sehingga komunikasi dan partisipasi meningkat serta
proses konseling berlangsung secara efektif.[24]
Contoh :
Konselor : “saya yakin anda akan berbicara apa adanya, karna
saya akan mendengarkan dengan sebaik-baiknya.[25]
7. Keterampilan mengarahkan
Directing adalah kemampuan konselor mengajak dan mengarahkan klien untuk
berpatisipasi secara penuh dalam proses konseling. Melalui keterampilan ini,
konselor mengajak klien agar berbuat sesuatu atau mengarahkannya agar berbuat
sesuatu.[26]
Contoh :
Klien : “ayah saya sering marah-marah tanpa sebab. Saya tak
dapat lagi menahan diri. Akhirnya terjadi pertengkaran sengit.”
Konselor : “bisakah saudara jelaskan kepada saya bagaimana sikap
dan kata-kata ayah saudara jika memarahi anda.”[27]
8. Keterampilan memberikan dorongan minimal
Minimal encouragement atau keterampilan
memberikan dorongan minimal adalah suatu upaya konselor memberikan dorongan
secara langsung dan singkat agar kliennya selalu terlibat dalam pembicaran dan
dirinya terbuka.keterampilan ini bertujuan agar klien terus berbicara dan dapat
mengarahkan agar pembicaraan mencapai tujuan. Dorongan minimal dilakukan oleh
konselor apabila klien kelihatannya akan mengurangi atau menghentikan
pembicaraan, ketika klien kurang memusatkan pikirannya pada pembicaraan, dan
ketika konselor ragu terhadap pembicaraan klien. Melalui keterampilan juga akan
dapat meningkatkan eksplorasi diri.[28]
9. Keterampilan sailing (saat diam)
Dalam dalam konseling,
diam atau tidak bersuara bisa menjadi teknik konseling. Oleh sebab itu,
konselor harus dapat memafaatkan situasi ini. Keadaan diam akan membantu konselor :
-
Untuk mendorong klien
untuk berbicara
-
Membantu klien untuk lebih
memahami dirinya
-
Setelah diam, klien dapat
mengikuti ekpresi yang membawanya berpikir dan bangkit dengan tilikan yang
mendalam
-
Mengurangi kecepatan
wawancara[29]
Contoh :
Klien : “saya tidak senang dengan perilaku guru itu....dan
saya....” (berfikir)
Konselor : “..............”(diam)
Klie n :
“saya....harus bagaimana....saya tidak tahu.......”
Konselor : “..............”(diam)[30]
10.
Keterampilan mengambil
inisiatif
Mengambil inisiatif
perlu dilakukan oleh konselor apabila klien kurang bersemangat bersemangat
untuk berbicara, sering diam, dan kurang partisipatif. Konselor dapat
mengucapkan kata-kata yang mengajak klien untuk berpatisifasi dan berinisiatif
dalam menuntaskan pembicaraan. Keterampilan ini diterapkan apabila :
-
Akan mengambil inisiatif
jika klien tampak kurang bersemangat
-
Jika klien lambat berfikir
untuk mengambil keputusan
-
Jika klien kehilangan arah
pembicaraan[31]
Contoh : “baiklah, saya pikir anda mempunyai satu keputusan
namus masih belum keluar. Coba anda renungkan lagi.”[32]
11.
Keterampilan memberi
nasihat
Nasihat bisa diberikan
kepada klien apabila ia meminta. Meskipun demikian pemberian nasihat tetap
perlu harus dipertimbangkan. Hal yang harus dijaga untuk memberi nasihat adalah
tujuan konseling, yakni kemandirian klien harus tetap tercapai.[33]
Contoh : “apakah hal seperti ini pantad saya untuk memberi
nasehat saudara? Sebab, dalam hal sperti ini saya yakin anda lebih
berpengalaman dari pada saya.”[34]
12.
Keterampilan memberi
informasi
Informasi diberikan
oleh konselor kepada klien harus hal-hal yang diketahui konselor. Apabila
konselor tidak mengetahui informasi apa yang dikehendaki klien, konselor secara
jujur harus mengatakan bahwa dirinya tidak mengetahui informasi tersebut.
Sebainya, apabila konselor mengetahui, sebainya upayakan agar klien tetap
mengusahakanya ( klien mencari sendiri sumber informasi tersebut ).[35]
Contoh : “ mengenai informasi sekolah penerbangan anda sama
sekali tidak menguasainya karena itu saya sarankan anda langsung saja ke
direktorat penerbanagan atau sekolah penerbangan yang bersangkutan.”
13.
Keterampilan menafsirkan
(interpretasi)
Keterampilan
menafsirkan atau interprestasi merupakan upaya konselor mengulas pikiran,
perasan, dan pengalaman klien dengan merujukkan kepada merujuk kepada teori
-teori. Sifat-sifat tidak boleh dimasukkan kedalam interprestasi. Tujuan
ketrampilan ini adalah untuk memberikan rujukan, pandangan untuk perilaku klien
agar klien mengerti dan berubah melalui pemahaman dari hasil rujukan baru
tersebut.[36]
Contoh :
Klien : “ saya pikir dengan berenti
sekolah dan memusatkan perhatian membantu orang tua berarti bakti saya terhadap
keluarga karena adik-adik saya banyak dan amat membutuhkan biaya.”
Konselor : “ pendidika
tingkat tingkat SMA pada masa sekarang adalah mutlak bagi semua warga negara.
Terutama bagi yang hidup dikota besar seperti anda. Karena tantangan masa depan
makin banyak, maka dibutuhkan manusia indonesia yang berkualitas. Membantu
orang tua memang harus, namun mungki
disayangkan jika orang seperti saudara yang tergolong pandai di sekolah
akan meninggalkan SMA.”[37]
C. Tahap akhir (action)
1. Keterampilan menyimpulkan
Keterampilan
menyimpulkan merupakan kemampuan konselor mengambil inti pokok pembicaraan
selama proses konseling berlangsung. Kesimpulan pembicaraa atau wawancara
konseling bisa dilakukan konselor bersama klien. Dari kesimpulan pembicaraan
akan diketahui :
-
Bagaimana keadaan perasaan
klien saat itu
-
Apa rencana klien
selanjutnya
-
Pokok-pokok pembicaraan
apa yang akan dibicarakan pada sesi selanjutnya[38]
Comtoh : “ apakah sudah dapat kita membuat kesimpulan akhir.”[39]
2. Keterampilan merencanakan
Menjelang sesi akhir
wawancara konseling, konselor harus dapat membantu klien untuk dapatmembuat
rencana berupa suatu program untuk action
, yaitu rencana perbuatan nyata yang produktif bagi kemajuan klien. Rencana
yang baik harus merupakan hasil kerja sama antara konselor dan klien. Dengan
demikian, keterampilan merencanakan adalah kemampuan konselor merencanakan
tindakan nyata yang produktif bagi kemajuan kliennya.[40]
Contoh : “ saudara, apakah tidak lebih baik ika anda mulai
menyusun rencana yang baik berpdoman hasil pembicaraan kita sejak tadi.”[41]
3. Keterampilan menilai
Keterampilan menilai
atau mengevaluasi berarti kemampuan konselor untuk memetapkan batas-batas atau
ukuran-ukuran keberhasilan proses konseling yang telah dilaksanakan. Melalui
proses ini, konselor menetapkan sisi mana dari proses konseling yang telah
dicapai da sisi mana yang belum. Selai itu juga bisa ditetapkan kendala apa
yang menjadi penghambat proseskonseling. Selanjutnya berdasarkan hasil evaluasi
ditentukan apa tindak lanjutnya.[42]
4. Keterampilan mengakhiri konseling
Keterampilan
mengakhiri konseling merupakan suatu kemampuan konselor menutup sesi konseling.
berbagai cara bisa dilakukan oleh konselor untk menutup sesi konseling.
penutupan sesi konseling tidak harus dilakukan secara seragam oleh semua
konselor. Masing-masing konselor tentu memiliki teknik tersendiri dalam menutup
sesi konseling yang disesuaikan dengan kondisi klien dan situasi konseling intu
sendiri.
Secara umum menutup sesi konseling dilakukan oleh konselor
dengan melaukan hal-hal berikut :
-
Mengatakan bahwa waktu
konseling akan berakhir
-
Merangkum isi pembicaraan
-
Menunjukkan kepada klien
tentang pertemuan yang akan datang
-
Mengajak klien berdiri
sambil menunjukkan isyarat gerak tangan
-
Menunjukkan
catatan-catatan singkat kepada klien tentang hasil pembicaraan
-
Memberikan tugas-tugas
tertentu kepada klie apabila diperlukan[43]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konselor harus mempunyai jiwa penerimaan yang baik akan diri klien hal ini
diperlukaan agar klien tak sngkan dalam mengunggapkan apa yang ia dia rasakan.
Teknik dasar yang dapat digunakan untuk membantu konselor dalam menggali
perasaan-perasaan konseli baik dari tingkah laku verbal maupun non verbal
sebagai usaha untuk memahami dirinya sendiri dan memahami perubahan yang
terjadi di dalam kehidupannya.
Teknik dasar dalam komunikasi konseling terdiri attending, opening
acceptance dll. Teknik tersebut dapat dilakukan baik verbal maupun non verbal
guna membantu klien mengentaskan masalahnya. Konselor harus mengetahui
bagaimana cara membuat klien merasa nyaman agar dapat mengekspesikan masalah
apa yang dia hadapai. Serta konselor harus mempunyai keterampilan dalam
menggunakan teknik opening karena opening yang baik dan tepat dapat menciptakan
suasana yang nyaman bagi klien. Serta dalam diri
B. Saran
Dalam
pembuatan makalah ini tentunya terdapat banyak kekurangan, penulis berharap
agar pembaca dapat memberikan masukan yang tentunya dapat membuat penulis
semakin baik. Makalah ini tentunya dibuat untuk memberikan wawasan kepada para
pembaca mengenai keterampilan dasar yang harus dimilikioleh konselor.
DAFTAR PUSTAKA
Tohirin. (2014). Bimbingan dan Konseling Islam di Sekolah dan
Madrasah.
Jakarta . PT. Rajagrafindo Persada
Sofyan S. Willis.
(2014). Konseling Individual Teori dan
Praktek. Bandung.
Alfabeta
Namora Lumongga
Lubis. (2011). Memahami Dasar-Dasar
Konseling dalam
teori dan praktik. Jakarata. Kencana.
Prayitno dan Erman.
2009. Dasar-Dasar Bimbingan dan
Konseling. Jakarta.
PT. Asdi Mahasetya.
Tohirin. (2009). Bimbingan
dan Konseling di Sekolah dan Madrasah
(Berbasis Integrasi). Jakarta. Rajawali Pers.
Https://bintimuham.wordpress.com/2013/11/12/keterampilan-dasar-konseling/
[1]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
288.
[2]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
289.
[3]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
289-290.
[4]
Sofyan S. Willis, Konseling Individual teori dan praktek, ALFABETA, 2014, hlm.
161-162
[5]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
290.
[6] Sofyan S. Willis,
Konseling Individual teori dan praktek, ALFABETA, 2014, hlm. 162
[7]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
290-291.
[8] Sofyan S. Willis,
Konseling Individual teori dan praktek, ALFABETA, 2014, hlm. 163
[9]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
291.
[10]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
292.
[11] Sofyan S. Willis,
Konseling Individual teori dan praktek, ALFABETA, 2014, hlm. 164
[12]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
292.
[13] Sofyan S. Willis,
Konseling Individual teori dan praktek, ALFABETA, 2014, hlm. 166
[14]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
293.
[15] Sofyan S. Willis,
Konseling Individual teori dan praktek, ALFABETA, 2014, hlm. 167-168
[16]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
293.
[17] Sofyan S. Willis,
Konseling Individual teori dan praktek, ALFABETA, 2014, hlm. 168
[18]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
293
[19] Sofyan S. Willis,
Konseling Individual teori dan praktek, ALFABETA, 2014, hlm. 168-169
[20]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
294.
[21] Sofyan S. Willis,
Konseling Individual teori dan praktek, ALFABETA, 2014, hlm. 169-170
[22]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
294.
[23] Sofyan S. Willis,
Konseling Individual teori dan praktek, ALFABETA, 2014, hlm. 170
[24]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
294.
[25] Sofyan S. Willis,
Konseling Individual teori dan praktek, ALFABETA, 2014, hlm. 170
[26]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
295.
[27] Sofyan S. Willis,
Konseling Individual teori dan praktek, ALFABETA, 2014, hlm. 167
[28]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
295.
[29]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
295.
[30] Sofyan S. Willis,
Konseling Individual teori dan praktek, ALFABETA, 2014, hlm. 170-171
[31]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
296.
[32] Sofyan S. Willis,
Konseling Individual teori dan praktek, ALFABETA, 2014, hlm. 171
[33]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
296.
[34] Sofyan S. Willis,
Konseling Individual teori dan praktek, ALFABETA, 2014, hlm. 171
[35]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
296.
[36]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
296-297.
[37] Sofyan S. Willis,
Konseling Individual teori dan praktek, ALFABETA, 2014, hlm. 166-167
[38]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
297.
[39] Sofyan S. Willis,
Konseling Individual teori dan praktek, ALFABETA, 2014, hlm. 172
[40]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
297.
[41] Sofyan S. Willis,
Konseling Individual teori dan praktek, ALFABETA, 2014, hlm. 172
[42]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
297-298.
[43]
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di sekolah dan madrasah, jakarta, 2014, hlm.
298-299.
Komentar
Posting Komentar